Tuesday, March 9, 2010

Mindfullness

Mindfulness/mindfully/mindful adalah kemampuan untuk mengunakan akal yang
rasional dalam memutuskan suatu keputusan, melakukan tindakan dengan mengetahui
apa dampak dari tindakan tersebut bagi dirinya secara spesifik.
Kualitas kunci dari mindfulness adalah :
1. Keterbukaan terhadap ide.
2. Kepekaan terhadap perbedaan.
3. Sensitifitas terhadap konteks yang berbeda.
4. Kesadaran terhadap perspektif yang berbeda.
5. Orientasi pada masa kini.
Hal-hal yang memaksa sebuah organisasi meningkatkan konsep mindfulness adalah
1. Kompetisi yang semakin tinggi
2. Keinginan konsumen yang semakin tinggi
3. Toleransi kecil terhadap kesalahan
4. Standar performa yang semakin tinggi
Dalam artikel ini kami perkenalkan konsep untuk memahami pengunaan teknologi
informasi (IT) dalam sebuah organisasi, konsep ini terdiri dari empat proses :
Comprehensi, adopsi, implementasi dan asimilasi.
Perjalanan inovasi sebuah organisasi dimulai dengan comprehensi dimana sebuah
organisasi mempelajari mengenai sebuah inovasi dan mengembangkan sebuah sikap yang
tertarik akan inovasi tersebuh. Tahapan berikutnya adalah adopsi dimana sebuah
Copyright : Diperkenankan untuk mengandakan dan menyebarkan sebagian atau
keseluruhan artikel ini.
perusahaan mulai melakukan adopsi awal dalam tataran konsep untuk inovasi tersebut.
Tahapan berikutnya adalah implementasi dimana dilakukan pemilihan terhadap pilihanpilihan
inovasi yang cocok dengan organisasi. Tahapan terakhir adalah asimilasi dimana
inovasi yang sudah dipilih mulai diserap oleh tatanan kehidupan organisasi tersebut.
Inovasi IT secara mindfully
Keputusan yang mindfully adalah pemilihan keputusan yang paling cocok dengan
karakteristik unik dari organisasi. Pemilihan yang dilakukan tidak didasari apa yang
dilakukan oleh organisasi lain. Dengan kata lain sebuah organisasi disebut mindfully
dalam berinovasi dengan IT jika ia melakukan inovasi karena fakta dan hal-hal spesifik
sesuai dengan organisasi tersebut. Perhatian terhadap hal-hal unik dalam organisasi
penting dilakukan untuk memberikan keputusan yang tepat mengenai apakah mengadopsi
sebuah inovasi adalah hal yang tepat atau tidak.
Berikut adalah 5 atribut yang membuat sebuah organisasi dapat mencapai tingkat
mindfulness yang tinggi.
1. Pengalaman masa lalu akan kegagalan
2. Sikap menghindari simplifikasi terhadap suatu interpretasi
3. Sensitifitas terhadap operasi
4. Mengandalkan pengalaman dibandingkan keputusan formal.
5. Pengambilan keputusan dengan kehati-hatian
Organisasi yang mindfully tidak merayakan keberhasilannya. Sebaliknya ia lebih
berpikir akan kemungkinan kegagalan. Ia juga menganggap sebuah periode yang mulus
sebagai suatu hal yang mengkhawatirkan dimana organisasi tersebut khawatir ada suatu
masalah yang terlewatkan. Dengan pengalaman masa lalu akan kegagalan sebuah
organisasi dapat lebih mengidentifikasi potensi akan pengembangan inovasi IT.
Copyright : Diperkenankan untuk mengandakan dan menyebarkan sebagian atau
keseluruhan artikel ini.
Mindfulness dalam proses inovasi IT
Dalam proses mewujudkan visi terhadap inovasi IT sebuah organisasi yang mindful
tidak akan melakukan generalisasi terhadap potensi keuntungan dari sebuah inovasi tetapi
sebaliknya akan melakukan verifikasi terhadap pilihan inovasinya secara hati-hati.
Organisasi yang mindful akan kritis terhadap sebuah inovasi yang sedang populer di
kalangan umum serta mempertimbangkan apakah inovasi itu cocok dengan organisasi
atau tidak. Walaupun sebuah organisasi memilih sebuah inovasi, ini tidak berarti
organisasi itu akan menjadi pionir dalam inovasi tersebut, hal ini dikarenakan tidak
selamanya menjadi pionir itu baik, dikarenakan sebuah inovasi baru terkadang kurang di
dukung oleh infrastruktur yang dibutuhkan untuk inovasi tersebut.
Dalam proses asimilasi dari inovasi IT, organisasi yang mindful tidak akan
memperlihatkan penerimaan yang terlalu cepat tetapi sebaliknya akan tetap terbuka untuk
kejutan dan pembelajaran yang berkelanjutan.
Mindlessness
Kontradiksi dengan konsep mindfulness, sebuah organisasi dikatakan
mindlessness/mindless jika keputusan yang dibuat tidak sesuai dengan spesifikasi
organisasi yang bersangkutan. Organisasi yang mindlessness tidak begitu menganggap
penting inovasi IT, dikarenakan hal ini mereka lebih memilih menjadi pengikut
dibandingkan pemimpin dalam inovasi.
Jika terdapat sebuah inovasi yang diikuti oleh orang banyak maka organisasi yang
mindlessness akan cenderung untuk mengikuti setelah melihat kesuksesan pionir awal
sebuah inovasi serta melihat banyaknya organisasi yang mengikuti.
Copyright : Diperkenankan untuk mengandakan dan menyebarkan sebagian atau
keseluruhan artikel ini.
Awal mula mindlessness
Kondisi mindlessness terjadi atas tiga kondisi berikut ini :
1. Kurangnya perhatian akibat terdapat hal-hal lain yang dirasa lebih penting.
2. Kurang sensitivitas terhadap konteks masalah
3. Halangan dari lingkungan dimana institusi dan kondisi lingkungan yang ada
menciptakan penghalang seperti kondisi dimana sebuah perusahaan terpaksa
mengikuti langkah perusahaan yang lebih besar dikarenakan tekanan sosial dan
lainnya.
Mindlessness sebagai pilihan strategis
Menjadi mindless bukanlah hal yang baik untuk dilakukan. Tetapi ada kalanya
menjadi mindless dapat berhasil dan adaptif.
Mindless dalam inovasi dapat dilakuakan jika keuntungannya melebihi kerugiannya.
Organisasi yang berpikir diri mereka sebagai pengikut ketimbang pemimpin cenderung
memilih proses ini. Mindlessness juga terkadang dapat menguntungkan dalam konsep
organisasi yang mengunakan konsep ini tidak perlu terlalu banyak memakan biaya dalam
melakukan proses pemilihan inovasi yang tepat dan membiarkan para innovator dan
pemimpin yang menangung biayanya.
Sintesis antara Mindfulness dan Mindlessness
Dalam konsep sebuah organisasi kita cenderung dapat menentukan organisasi mana
yang lebih cocok mengunakan konsep mindfulness dan organisasi mana yang cocok
dengan mindlessness dan dapat saling memisahkan diantara keduanya , tetapi dalam
konsep suatu komunitas yang lebih besar mindfulness dan mindlessness bekerja sebagai
komplemen dari sebuah konsep ilmu pengetahuan.
Copyright : Diperkenankan untuk mengandakan dan menyebarkan sebagian atau
keseluruhan artikel ini.
Pada akhirnya konsep mindfulness dan mindlessness saling berinteraksi dalam
organisasi untuk menciptakan kepercayaan dan pengetahuan yang berkualitas dan akibat
proses tersebut organisasi secara umum akan cenderung berkembang dan meningkatkan
kemampuannya dalam mengerti inovasi IT.
Copyright :

Mengapa Institusi Sekolah berubah dengan perlahan?

Mengapa sekolah/institusi pendidikan berubah perlahan?

Sekolah dan institusi pendidikan dikatakan sukar untuk mengalami sesuatu perubahan. Sistem pendidikan dikatakan lebih resisten terhadap sebarang perubahan dan inovasi berbanding dengan institusi perindustrian dan bidang pertanian, guru-guru dan para pendidik lebih sukar menerima sesuatu inovasi dan perubahan berbanding petani atau doktor (Huberman, 1979). Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi fenomena di atas (Havelock, 1971).

1. Faktor input

* halangan untuk berubah dari persekitaran

* ketidak trampilan agen luar
* inovasi yang terlalu berpusat
* sensitiviti dan defensiveness guru-guru/pendidik
* ketiadaan linking-pin agen perubahan
* putus hubungan antara teori dan amalan
* inovasi yang mempunyai kurang asas saintifik - kurang membuat kajian
* guru/pendidik bersifat konservatif
* kesamaran profesionalisme

2. Faktor output

* matlamat sesuatu inovasi tidak jelas
* tiada ganjaran untuk inovasi
* pendekatan terlalu uniform
* sekolah sebagai institusi yang monopoli
* komponen pengetahuan yang rendah - kurang pelaburan dalam R&D
* kesukaran mendiagnos kelemahan
* masalah mengukur hasil akhir (product)
* pelaburan yang rendah dalam bidang teknologi dan kewangan
* fokus kepada komitmen masa kini - akauntabiliti
* pelaburan yang rendah terhadap perkembangan staf
* kekurangan model entrepreneur
* passivity

3. Faktor throughput

* pemisahan antara ahli-ahli dan unit-unit dalam sistem pendidikan
* perbezaan status dan hirarki
* kekurangan prosedur dan latihan untuk perubahan

sistem inovasi dalam pendidikan

Sistem inovasi sangat penting karena bukan semata menyangkut pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) itu sendiri [termasuk misalnya melalui pendidikan, penelitian, pengembangan dan kerekayasaan], tetapi juga bagaimana iptek dapat didayagunakan secara maksimal bagi kepentingan nasional dalam pembangunan ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya. Demikian sebaliknya, perkembangan ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya, menjadi bagian yang tidak dapat diabaikan dan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi arah dan kecepatan pemajuan iptek.
Gambar berikut [saya menggunakan skema yang dikembangkan oleh Arnold dan Kuhlmann, 2001] merupakan salah satu cara memudahkan pemahaman kita tentang sistem inovasi. Ini tentu bukan satu-satunya cara. Banyak skema lain yang digunakan oleh pihak yang berbeda, tergantung tujuan deskripsi kita tentang sistem inovasi.


Jadi, sistem inovasi memiliki peran dan hubungan timbal balik sangat penting dengan pendidikan. Ini juga diungkapkan antara lain oleh Johnson dan Jacobson (2001), yang menurut mereka fungsi utama sistem inovasi adalah :

1. Menciptakan pengetahuan baru.
2. Memandu arah proses pencarian penyedia dan pengguna teknologi, yaitu mempengaruhi arah agar para pelaku mengelola dan memanfaatkan sumber dayanya.
3. Memasok/menyediakan sumber daya, yaitu modal, kompetensi dan sumber daya lainnya.
4. Memfasilitasi penciptaan ekonomi eksternal yang positif (dalam bentuk pertukaran informasi, pengetahuan dan visi).
5. Memfasilitasi formasi pasar.

Sementara itu, Liu dan White (2001) juga mengungkapkan beberapa aktivitas penting dalam sistem :

1. Riset (dasar, pengembangan, dan rekayasa);
2. Implementasi (misalnya manufaktur);
3. Penggunaan akhir/end-use (pelanggan dari produk atau output proses);
4. Keterkaitan/linkage (menyatukan pengetahuan yang saling komplementatif); dan
5. Pendidikan.

Jadi jelas bahwa dalam pengertian yang disampaikan di atas, ini berarti bahwa sistem pendidikan merupakan elemen/pilar sangat penting bagi berkembangnya sistem inovasi (nasional maupun daerah, serta sektoral/industrial). Sebaliknya, sistem inovasi yang kuat akan mendukung perkembangan pendidikan yang semakin baik pula.
Bagaimana kita dapat melakukan perbaikan yang bersifat timbal balik pada penguatan sistem inovasi dan pendidikan di Indonesia? Saya meminjam kerangka kebijakan inovasi yang diusulkan (dan sedang terus dikembangkan) dalam RAKORNAS RISTEK April 2008 di Palembang. [catatan : pengertian sederhana kebijakan inovasi adalah himpunan kebijakan untuk mendukung pengembangan/penguatan sistem inovasi]. Saya pernah menyinggung juga tentang ini secara singkat di blog publik Kompas.
Atas dasar kerangka kebijakan inovasi ini, maka beberapa hal penting perlu dilakukan di Indonesia antara lain adalah :
Kondisi Umum. Dalam hal ini perlu langkah perbaikan dalam peraturan perundangan, infrastruktur (fasilitas) dan sarana pendidikan [formal, non formal, informal] serta tenaga pendidik yang mendukung ketersediaan, aksesibilitas dan "afordabilitas" bagi seluruh masyarakat terhadap pendidikan yang berkualitas di seluruh wilayah Indonesia. Ini yang mendasar. Tetapi jangan juga mengabaikan pengembangan kompetensi yang semakin kuat pada bidang-bidang tertentu (selektif) yang mendukung penguatan keunggulan daya saing dan kemandirian bangsa.
Catatan penting dari saya : jangan sampai pengembangan sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan ”unggulan” menjebak kita hanya menyedikan lembaga pendidikan untuk anak/orang pandai dan memiliki kemampuan ekonomi. Pendidikan merupakan investasi untuk membuat orang menjadi pandai dan cerdas.
Kelembagaan dan Daya Dukung Iptek, serta Kapasitas Absorpsi Iptek oleh Industri. Penataan di bidang ini terbuka luas, apalagi jika dikaitkan dengan amanat dalam UU No. 20/2003 tetang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 18/2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Iptek, dan sejalan pula dengan kelahiran UU No. 39/2008 tentang Kementerian dan Kementerian Negara.
Ambil contoh tentang kesejalanan pendidikan dan pengembangan industri (dunia usaha). Jika penentu kebijakan di kedua “bidang” ini jalan sendiri-sendiri dan lembaga pendidikan tak mau tahu perkembangan dalam masyarakat dan dunia usaha, maka tak perlu heran kalau sarjana-sarjana baru pun akan semakin memperpanjang antrian pengangguran terdidik di negara kita dari waktu ke waktu.
Lembaga pendidikan vokasi yang baik sangat diperlukan. Selain itu, ke depan, beberapa perguruan tinggi terutama di bidang teknik (engineering) dan bisnis/ekonomi perlu didorong agar menjadi entrepreneurial universities. Ini tentu tidak harus perguruan tinggi negeri saja. ATMI Solo merupakan salah satu contoh perguruan tinggi yang memiliki program vokasi sangat baik di Indonesia. UMN Tangerang, walaupun usianya tergolong sangat muda, juga tengah berupaya menjadi perguruan tinggi yang memiliki kekuatan dalam menghasilkan technopreneur masa depan yang baik.

Wednesday, February 3, 2010

Penyata Razak 1956 dan Penyata Barnes 1961

Penyata Razak 1956.

Jawatankuasa Razak ditubuhkan pada 30 September 1955 untuk mengkaji Ordinan Pelajaran 1952. jawatankuasa ini dipengerusikan oleh oleh Dato Abdul Razak bin Hussein. Hasil kajian jawatankuasa ini terkandung dalam Laporan Razak yang dikemukekan pada bulan April 1956. Cadangan dalam Penyata Razak telah dimaktubkan dalam Ordinan Pelajaran 1957.

Tujuan utama Penyata Razak 1956 adalah menjadikan Bahasa Melayu sebagai bahasa kebangsaan, bahasa perpaduan dan bahasa pengantar di sekolah. Pelaksanaan bahasa melayu sebagai bahasa kebangsaan telah diharapkan mengeratkan perpaduan antara kaum melayu, cina dan india sebagai rumpun bangsa di tanah melayu. Berdasarkan Penyata Razak 1956, tujuan dasar pelajaran bermaksud hendak menyatukkan murid-murid dari semua bangsa di dalam negara ini dengan menggunakan satu peraturan pelajaran yang meliputi semua bangsa dengan menggunakan bahasa kebangsaan sebagai bahasa penghantar besar. Walaupun perkara ini tidak dapat dilakukan dengan serta-merta melainkan hendaklah dibuat secara beransur-ansur. Tambahan pula memeriksa akan dasar Pelajaran Negeri Persekutuan Tanah Melayu yang ada sekarang dan mengesyorkan sebarang perubahan kepadanya atau menyesuaikan denganya yang mana wajib dengan tujuan hendaklah menubuhkan satu peraturan pelajara yang munasabah yang dapat diterima oleh rakyat di dalam Persekutuan Tanah Melayu in amnya dan dapat memenuhi kemahuan mereka sebagai suatu bangsa di dalam bidang kebudayaan masyarakat, ekonomi dan politik dengan tujuan dengan tujuan hendak menjadikan bahasa Melayu itu bahasa kebangsaan negeri ini dan dalam pada itu memelihara bahasa dan kebudayaan lain-lain bangsa yang ada didalam negeri ini.” (Penyata Razak: Paragraph 12, 115 and 1(a))

Tujuan kedua Penyata Razak adalah mengembangkan system pendidikan agar jurang perbezaan antara kaum dapat dikurangkan. Selain itu, menyediakan kemudahan masyarakat yang bertoleransi, berdisiplin, terlatih, liberal dan progresif. Pengembangan sistem pendidikan ini boleh dilihat dari sudut peringkat sekolah rendah, sekolah menengah dan sistem peperiksaan.

Sekolah rendah dibahagikan kepada sekolah rendah kebangsaan (SRK) yang menggunakan bahasa melayu sebagai bahasa penghantar dan Sekolah Rendah Jenis Kebangsaan (SRJK) yang menggunakan bahasa inggeris, cina dan tamil sebagai bahasa pengantar. Bahasa melayu dan bahasa inggeris dijadikan matapelajaran wajib di peringkat sekolah rendah. Selain itu, murid-murid keturunan cina dan tamil di sekolah aliran inggeris diberi peluang mempelajari bahasa ibundanya jika ada lima belas orang atau lebih murid yang ingin belajar. Sementara itu, guru-guru yanng mengajar di peringkat sekolah rendah harus mempunyai Sijil Sekolah Menengah Rendah dan mendapat latihan sepenuh masa setahun dan separuh masa 2 tahun.

Peringkat sekolah menengah pula dibahagi kepada tiga peringkat iaitu sekolah menengah rendah (3 tahun), sekolah menengah atas (2 tahun) dan pra-U (2 tahun). Dalam konteks ini, satu jenis sekolah menengah sahaja dengan bahasa melayu dan bahasa inggeris sebagai mata pelajaran wajib. Sekolah menengah ini terbuka kepada semua kaum dan menggunakan sukatan yang sama. Selain itu, murid-murid harus lulus peperiksaan memasuki sekolah menengah bayi memasuki sekolah menengah.

Mengikut Penyata Razak, sistem peperiksaan pada peringkat sekolah telah dibahagi kepada 2 iaitu sistem peperiksaan sekolah menengah rendah dan sistem peperiksaan sekolah menengah. Dalam sekolah menengah rendah iaitu pada peringkat tingkatan 3, pelajar seharusnya lulus Sijil Rendah Pelajaran (SRP/LCE) bagi memasuki sekolah menengah atas. Peperiksaan Sekolah Menengah Atas (tingkatan 3) untuk memperoleh Sijil Persekutuan Tanah Melayu yang sama taraf dengan Cambridge Overseas Certificate. Sementara itu, dalam konteks pra-U, peperiksaan pra-U tahun kedua diadakan untuk memperoleh Sijil Tinggi Pelajaran (STP/HSC) untuk memasuki universiti.

Selain itu, kewujudan sistem pengurusan pendidikan yang lebih cekap dan berkesan merupakan tujuan ketiga Penyataan Razak 1956. Tujuan ini berkeupayaan melahirkan masyarakat yang bertoleransi, berdisiplin, terlatih, liberal dan progresif dari berkeupayaan memenuhi keperluan negara yang merdeka dan memperkembangkan sistem pendidikan.

Laporan Razak telah diluluskan pada April 1957 dan dikuatkuasakan sebagai Ordinan Pelajaran 1957. Pelaksanaan perlakuan Jawatankuasa Razak in agak berjaya dalam kebanyakan hal. Jawatankuasa ini juga mengambil berat terhadap keperluan untuk menjadikan bahasa melayu sebagai bahasa kebangsaan dengan mengekalkan dan terus memperkembangkan bahasa dan budaya masyarakat lain yang tinggal di negara ini ( Penyata Razak 1956). Namun demikian, jelas wujud banyak masalah dan kekuranganya seperti keperluan guru-guru terlatih, buku teks, bilik darjah; guru-guru Melayu terus mendesak pembentukannya. Ugutan guru-guru Melayu untuk keluar daripada UMNO beramai-ramai memaksa kerajaan melaksanakan penubuhan Sekolah Menengah Kebangsaan dengan segera (Straits Budget, Okt. 18, 1956).
Sekolah Menengah Kebangsaan (Melayu) ditubuhkan dan menjadi nukleus perkembengan pendidikan kebangsaan seterusnya. Perkembangan Sekolah Menengah Kebangsaan memang pesat berlaku. Buat pertama kalinya kanak-kanak Melayu berpeluang mendapat pendidikan menengah dalam bahasanya sendiri. Kanak-kanak masih pergi ke sekolah yang berlainan menurut bahasa ibundanya. Sekolah Kebangsaan tidak begitu popular dalam kalangan murid-murid bukan Melayu.
Hakikat bahawa kana-kanak belajar di sekolah-sekolah yang berlainan tidak menjamin mereka mempunyai pandangan kebangsaan yang sama seperti yang diharapkan. Ini menyebabkan timbulnya Laporan Rahman Talib (1960), yang menjadi asas Akta Pendidikan 1961.




Penyata Barnes 1961

Pada Ogos 1950, satu Jawatankuasa yang diketuai oleh L.J Barnes ditubuhkan bagi mengkaji masa depan sistem pendidikan di tanah melayu. Setelah menjalankan kajian satu penyata yang dikenali sebagai penyata Barnes disediakan dan dikemukekan kepada kerajaan British pada tahun 1951. penyata ini mengandungi syor-syor yang dikemukekan oleh Jawatankuasa ini. Antara syor-syor ialah;

Lapaoran Barnes mengajukan satu jenis sekolah rendah terbuka kepada semua rakyat. Selain daripada cirinya multietnik itu, ciri-ciri utama sekolah kebangsaan itu adalah seperti kewujudan satu sistem yang menyediakan pendidikan rendah secara percuma bagi semua kanak-kanak daripada pelbagai kaum etnik yang berumur antara enam hingga dua belas tahun. Selain itu, sistem ini bertujuan menghasilkan kanak-kanak dwibahasa, terdidik dalam bahasa inggeris dan melayu dan kemudianya akan menyambung pengajianya pada peringkat menengah dan tinggi dalam bahasa inggeris (Barnes 1950). Cadangan ini bermaksud semua sekolah rendah menjadi satu jenis sahaja iaitu sekolah kebangsaan atau sekolah melayu. Dengan ini, Jawatankuasa Barnes boleh dikatakan pemikiran yang agak serius terhadap pemersatuan bangsa melalui bahasa. Selain itu, menurut penyata Barnes, pada peringkat darjah tiga, bahasa inggeris menggantikan bahasa melayu dan akhirnya murid-murid akan menjadi dwibahasa pada peringkat umur 12 tahun. Keadaan ini membolehkan murid-murid dapat menentukkan kedua-dua bahasa sepadan dengan umur mereka.

Pelaksanaan perakuan ini bermakna murid-murid cina dan india terpaksa menggunakan bahasa ibundanya dan memasuki sekolah melayu. Walau bagaimanapun, jawatankuasa itu menyedari bahawa cadangan sistem itu akan menjadi lemah, jika setiap kaum etnik cina, india dan melayu terus berkeinginan mengadakan sekolah rendah mereka sendiri secara berasingan daripada usaha kerajaan (Barnes 1951).
Masyarakat cina menolak cadangan ini kerana mereka menganggap cadangan kerajaan akan membunuh bahasa mereka. Penolakan kaum cina mengakibatkan isu ini menjadi hangat diperdebatkan dalam akhbar harian pada masa itu.
Walaupun sistem sekolah itu lebih banyak memberi keutamaan kepada bahasa Melayu, guru-guru pelatih Maktab Perguruan Sultan Idris juga menetangnya serta menunjuk perasaan. Mereka menyedari bahawa perakuan tersebut berupaya membunuh bahasa melayu dan menghidupkan bahasa inggeris (Straits Budget, 18 November 1952).
Sementara itu, penyata Barnes juga menyarankan pemberian pendidikan percuma selama 6 tahun pada peringkat sekolah rendah.
Sebagai kesimpulanya, Penyata Barnes mendapat tentangan hebat daripada masyarakat tanah melayu. Kaum melayu lebih rela mempertahankan Bahasa melayu dengan membantah kerana kedudukan bahasa melayu tidak diberi kedudukan yang wajar. Kaum cina pula, mengganggap sekolah kebangsaan sebagai ancaman kepada kebudayaan dan bahasa cina yang mereka banggakan. Selain kaum cina, kaum india turut mengalami kebimbangan apabila permintaan mereka untuk mengkaji kedudkan sekolah tamil telah ditolah oleh kerajaan.

Budaya lepak di kalangan remaja

PERBINCANGAN


Mula-mula kami ingin bincangkan definisi belia atau golongan orang muda. Secara umumnya, golongan remaja dan belia merupakan sebahagian daripada tenaga kerja produktif, menjadi golongan yang berpotensi untuk membuat sesuatu pekerjaan atau tugas yang diberikan kepada mereka. Namun mereka juga ialah golongan yang belum mantap, banyak resah gelisah, suka memberontak,suka menyanggah, mencuba-cuba dan berminat untuk menanggung risiko. Sebab itulah golongan ini sering dikaitkan dengan perbuatan-perbuatan “hedonism”,”vandalism” dan “rebel without cause” iaitu perbuatan-perbuatan yang melibatkan sekali gus “pleasures”.

Sekarang akan dilihat pula pada definisi budaya lepak. Secara mudahnya maksud “lepak” ialah tidak lebih hanya berupa perbuatan bersiar-siar, bersantai-santai,. Kadang kala kita berlepak-lepak di beranda rumah misalnya. Ini semua perbuatan biasa tetapi ia menjadi gejala negatif bila ia melibatkan ramai orang, berterusan hari demi hari, tanpa mengira waktu yang khusus. Ia juga dilakukan di tempat awam di tempat yang menjadi tumpuan ramai seperti di pasar raya, perhentian bas,kompleks beli belah dan lain lain.. Ia bukan sahaja merosakkan pandangan tetapi juga menganggu orang lain. Lazimnya bila sudah ramai berkumpul itu, ada perbuatan nakal misalnya bersiul kearah anak gadis dan membuat bising.

Budaya lepak ini melibatkan sesiapa sahaja tidak kira lelaki atau perempuan ia bersifat kolektif tetapi yang penting diperhatikan di sini ialah bila kita sebut “budaya lepak” maka maksudnya perbuatan itu melibatkan ramai orang dan berlaku secara berterusan. Ini seterusnya membawa kepada masalah baru iaitu gejala-gajala buruk. Malahan keprihatinan masyarakat terhadap isu lepak ini adalah dari perspektif negatif. Pertama, perbuatan melepak itu melibatkan sesuatu golongan yang tidak sepatutnya bertindak demikian. Mereka seharusnya terlibat dalam kegiatan yang produktif yang menguntungkan. Kebimbangan betapa perbuatan itu boleh merangsangkan dan menjerumuskan anak-anak muda ini dengan perbuatan-perbuatan buruk yang lain. Di samping membazirkan waktu, ia berjangkit pula pada usik-mengusik orang-orang yang lalu lalang seperti yang dibayangkan. Sebilangan daripada mereka terjebak dengan perbuatan-perbuatan buruk yang lain mungkin ia bermula dengan merokok, kemudian menghisap dadah dan langsung menjadi penagih. Selain itu, terlibat juga dengan perbuatan lain seperti mencuri, menipu dan seumpamanya. Ada juga yang terlibat dengan kegiatan maksiat dan pelacuran. Jika remaja-remaja ini dididik, mereka ada peluang tetapi kebanyakan mereka sudah lupa pada tuhan yang maha besar dan maha prihatin. Mereka lupa pada Allah SWT. Namun tidak boleh diabaikan bahawa terdapat pola umum yang menunjukkan bahawa dengan semakin banyaknya gejala membuang waktu dan melepak dengan peningkatan kes-kes ketagihan dadah,jenayah kecil-kecilan,pelanggaran had umur ke pusat hiburan dan permainan snuker misalnya maka korelasi sebab dan akibat beginilah yang pada hemat kami cukup membimbangkan masa depan golongan belia kita.

Kami juga telah dapat mengetahui bahawa daripada kajian yang dilakukan oleh KBS baru-baru ini,jelas menunjukkan bahawa kalangan orang muda yang bekerja pun turut terlibat .Melepak ini semakin melekakan dan melenakan mereka menjadikan mereka akhirnya hanyut di negara sendiri. Dan jika ini berlaku maka jelasnya bahawa generasi masa depan belia kita adalah malap dan cukup membimbangkan.

Sekarang akan dilihat pula kepada sebab-sebab ini berlaku. Apakah yang sebenarnya mendorong perbuatan sebegini. Sebenarnya ia bukanlah sesuatu yang baru. Namun pada hemat kami, gejala lepak yang kita cukup prihatin adalah berpunca daripada berbagai-bagai faktor penolak dan penarik yang ada dalam hidup yang kita nikmati sendiri.
Dalam menghadapi perkembangan masa transisi, remaja sentiasa menghadapi masalah penyesuaian. Penyesuaian ini seringkali menyebabkan remaja melakukan anti sosial yang menyebabkan masalah kenakalan remaja seperti melepak. Tidak dapat dinafikan bahawa, pengaruh kumpulan sebaya memainkan peranan penting dalam pembentukan tingkahlaku seseorang. Mengikut seseorang ahli psikologi Robert J.Harigust, salah satu tugas daripada tugas penting remaja yang perlu diberi perhatian ialah membentuk perhubungan baru yang lebih matang dengan kawan-kawan yang sama umur, tidak kira lelaki atau perempuan. Ini menunjukkan bahawa mereka tidak begitu suka melepak secara perseorangan tetapi mereka melepak secara berkumpulan. Selain itu, cara interaksi seseorang remaja dengan rakan sebaya adalah lebih terbuka kerana ahli kumpulan tersebut mempunyai minat serta kegemaraan yang sama. Sementara itu, mengikut Manja (1990), apabila seseorang remaja sudah pemikiran rakan-rakan sebaya yang sama minat, maka Hubungan mereka menjadi erat. Apa yang dilakukan maka ia juga akan turut melakukanya, sehubungan denga itu, sabda nabi s.a.w sepertimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Al-Muslim:
“ Perumpamaan teman yang soleh dan teman yang jahat ialah laksana wangiwangian
dan tukang besi. Adapun pembawa wangi-wangian, samada dia memberinya
sedikit, ataupun anda dapat mencium daripadanya bau-bauan yang wangi. Adapun
tukang besi, samada dia memakai bajumu, ataupun anda akan mencium daripada baubauannya yang busuk ”.

Sementara itu, pengaruh media masssa turut menjadi faktor pembentukan tingkahlaku lepak di kalangan remaja. Menurut, Mohd Salleh (1999), pengaruh media khasnya televisyen kadang-kadang bolah memberi kesan buruk kepada pembentukan peribadi remaja, khasnya aktiviti lepak. Cerita-cerita tv siri jenayah, persembahan drama keluarga dan rancangan-rancangan lain kian menjiwai budaya barat. Siaran tv yang berunsurkan budaya barat lebih menekankan pemikiran-pemikiran sekular yang memberi kesan negatif di kalangan remaja. Pemikiran sekular yang memisahkan agama dari kehidupan seharian mempengaruhi remaja kearah aktiviti yang tidak berfaedah seperti melepak. Di samping itu, siaran televisyen yang berunsurkan sekular menghapuskan budaya pemikiran tinggi dan nilai-nilai murni dimana individu menghadapi kesukaran dalam pencarian dan pembinaan makna bagi setiap aspek dan aktiviti kehidupan.

Selain itu, kegiatan lepak umunya berpunca daripada kemerosotan dari segi asuhan, didikan serta kawalan oleh ibu bapa atau penjaga. Tekanan hidup, sikap mengejar kemewahan serta penglibatan dalam aktiviti sosial lain menyebabkan ibu bapa dan anak kurang mempunyai masa atau kesempatan untuk bercakap, berbincang, berdamping antara satu sama lain. Malah ada yang jarang bersua muka antara satu sama lain. Keadaan ini menyebabkan remaja membawa cara hidup sendiri tanpa panduan dan pengawasan ibu bapa. Selain itu, keluarga yang terlalu mewah cara hidupnya menyebabkan pembentukan tingkahlaku lepak. Contohnya, ibu bapa yang terlalu memanjakkan anak-anak memberikan wang saku yang terlalu banyak. Keadaan ini menyebabkan mereka mudah dipengaruhi oleh remaja yang lain dan melepak di tempat awam, kompleks membeli belah, siber cafe dan sebagainya. Dalam pada itu, remaja yang terlalu awal terdedah kepada alam masyarakat mempunyai sikap kompleks tanpa bimbingan mencukupi daripada ibu bapa yang merupakan salah satu faktor kegiatan melepak.

Selain kemerosotan dari segi asuhan dan didikan ibu bapa, golongan remaja juga suka melepak kerana berasa bosan tinggal di rumah tanpa mempunyai sumber-sumber hiburan dan kemudahan untuk memenuhi masa mereka secara berfaedah. Hal ini kerana ketidakwujudan suasana harmoni di rumah dimana setiap ahli keluarga sibuk dengan hal masing-masing dan sering wujud pertelingkahan antara ahli keluarga. Keadaan ini menyebabkan anak-anak berasa tertekan dan lalu keluar untuk mencari hiburan dan melepak untuk memenuhi masa lapang mereka. Menurut kenyataan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kebudayaan Dan Pelancongan, terdapat ramai pelancong yang kurang senang dengan gelagat golongan remeja yang melepak di kawasan membeli belah dan terdapat juga pelancong yang mengadu mereka diganggu dan sering menerima kata-kata kesat daripada golongan remaja yang sedang melepak. Keadaan in agak keterlaluan dan ia berupaya memburukan imej negara di persada dunia.

Budaya lepak dikalangan remaja boleh meninggalkan impak negatif kepada diri, keluarga, masyarakat dan negara. Pembaziran masa dan wang merupakan implikasi yang tercetus daripada budaya lepak. Remaja yang melepak di tempat awam, kedai kopi, siber cafe merupakan golongan yang tidak menghargai kepentingan masa. Pepatah masa itu emas tidak bermakna bagi golongan melepak. Sebenarnya masa yang diluangkan untuk aktiviti ini boleh digunakan untuk aktiviti berfaedah seperti aktiviti sukan dan akademik. Contohnya, remaja cenderung membeli makanan ringan ketika melepak di pasaraya atau tempat awam. Wang yang dibazirkan sebenarnya boleh digunakan untuk perkara- perkara lain. Keadaan ini jelas menunjukkan budaya lepak meninggalkan impak yang amat negatif terhadap diri remaja dan orang lain.

Remaja yang terlibat dalam budaya lepak mudah terjebak dalam kegiatan anti sosial. Kegiatan anti sosial boleh didefinisikan sebagai kegiatan yang membawa mudarat kepada sosial. Antara kegiatan anti sosial adalah pencurian, pengambilan dadah, gengsterisme dan sebagainya. Kegiatan anti sosial sebegini berlawanan dengan aksiologi seseorang dimana ia berlawanan dengan konsep insan dan pembinaan ummah berdasarkan ilmu wahyu. Dalam pada itu, penglibatan dalam budaya lepak menjadi teras atau langkah awal kepada kegiatan anti sosial. Contohnya, remaja-remaja yang bergerak bebas lebih cenderung dipengaruhi oleh anasir jahat. Ketandusan aqidah serta pengaruh rakan sebaya membawa remaja ke kegiatan yang kurang sihat. Selain itu, ketandusan harmoni iaitu ketandusan punca-punca akhlak turut menjadi pemangkin remaja terlibat dalam kegiatan anti sosial. Maka keadaan ini jelas menunjukkan bahawa remaja yang terlibat dalam budaya lepak mempunyai pelung penglibatan dalam kegiatan anti sosial.

Selain itu, budaya lepak sering dikaitkan dengan kemerosotan akademik. Remaja yang masih di bangku sekolah atau instiusi pendidikan sering melepak tanpa mengira masa dan waktu. Keadaan ini menyebabkan remaja tidak mempunyai masa yang secukupnya untuk mengulangkaji pelajaran. Justeru remaja-remaja sering mengalami kebuntuan dalam akademik. Selain itu, remaja yang suka melepak sering terlibat dalam masalah ponteng sekolah. Dalam hal ini, sesetengah remaja lebih rela ponteng kelas semata-mata untuk bersiar di pusat beli-belah atau kedai komputer. Justeru, remaja tidak menerima sebarang output pembelajaran. Maka, keadaan ini jelas mendorong kepada kemerosotan dalam akademik. Selain itu, remaja melepak atau suka ponteng kelas tidak dapat menghayati akhlak ilmu dimana ilmu akal yang benar dapat manangani dan menghapuskan krisis nilai, krisis minda dan krisis kehidupan insyallah.

Budaya lepak berupaya mewujudkan streotaip mengenai golongan remaja kalangan oran lain. Tingkahlaku sekumpulan remaja memberi kesan negatif kepada keseluruhan remaja iaitu semua remaja dilebal sebagai kaki lepak. Selain itu, mereka juga dilabelkan sebagai golongan naif agama yang berpengetahuan cetek tentang aqidah dan agama. Maka , ketandusan dari segi pegangan agama dan aqidah berupaya melahirkan masyarakt yang tidak harmoni dan ini sekaligus merobohkan matlamat individu dan masyarakat madani.

Sekarang akan dibincang pula pada langkah-langkah yang boleh diambil untuk mengatasi masalah ini. Pada pendapat kami, langkah pertama yang harus diambil adalah melalui didikan agama. Agama Islam umpamanya cukup prihatin terhadap kerukunan hidup umatnya, seperti dalam soal penjagaan waktu, pemupukan akhlak yang baik serta pola perhubungan ibubapa dan anak-anak dan apa sahaja isu kolektif manusia bagi menjamin kesejahteraan manusia seluruhnya. Islam mempunyai panduan tertentu untuk menghadapinya. Setiap guru juga harus memainkan peranan mereka dalam menerapkan agama dalam pelajar masing-masing.Peranan guru hendaklah berpaksikan prinsip-prinsip agama yang terkandung dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Prinsip-prinsip tersebut ialah tersebut ialah ibadah, aqidah, harmoni, akhlak, fitrah, adil, berilmu dan berfikir. Berasaskan prinsip-prinsip ini guru akan memahami, menghayati dan dapat mengamalkan peranan mendidik yang hakiki. Apabila guru-guru melaksanakan peranan yang hakiki maka kesannya pelajar akan mencapai ke tahap dapat merasai kalazatan ilmu dan rahmat Allah SWT. Dengan sendiri mereka akan menjauhkan diri daripada perkara-perkara tidak bermoral dan berakhlak.

Selain itu, peranan ibu bapa adalah amat penting dalam memberikan perhatian yang serius terhadap anak-anak mereka .Ibu bapa mestilah memperhatikan setiap gerak-geri atau pergerakan anak-anak mereka. Ibubapa hendaklah sentiasa mengetahui dan mengenal pasti masalah yang dihadapi oleh anak mereka serta sanggup meluangkan masa untuk mengatasi masalah tersebut. Ibu bapa juga seharusnya mengetahui rakan-rakan anak mereka dan sentiasa memastikan bahawa mereka berkawan dan bergaul dengan mereka yang mempunyai kedudukan moral. Selain itu, tingkatkan penghayatan terhadap nilai-nilai murni, motivasi, melatih anak cara.Selain itu, tingkatkan penghayatan terhadap nilai-nilai murni, motivasi, melatih anak cara bersopan, prinsip-prinsip akauntabiliti, tepati janji, berketerampilan menunjukkan keperibadian yang mulia, amanah, sanggup menerima kelemahan diri serta meneroka potensi anak. Ibu bapa hndaklah menjadi "role model" kepada anak.

Langkah seterusnya yang boleh diambil ialah melalui pendekatan akademik ,ini boleh dilakukan dengan menambahkan aktiviti-aktiviti berteraskan akademik dan separa akademik seperti kegiatan ko-kurikulum di sekolah.Begitu juga dengan perubahan-perubahan teknik-teknik pengajaran seperti pengunaan komputer, video, bantuan alat pandang dengar dan teknik pengajaran luar kelas.

Selain itu, sistem perundangan di sekolah amat penting kerana peruntukan undang-undang yang lebih ketat di peringkat sekolah boleh mengurangkan beban dan tanggungjawab pihak sekolah dan pihak ibu bapa dalam pengawasan disiplin. Penguatkuasaan undang-undang di peringkat sekolah ini adalah melalui pihak berkuasa seperti polis. Bidang kuasa polis yang sedia ada perlu digunakan oleh pihak pentadbir sekolah dalam mendisiplinkan pelajar-pelajar. Pihak pentadbir hendaklah mengambil kesempatan dengan merujuk masalah pelajar ini kepada pihak polis. Pengetua tidak harus cuba menyembunyikan kes-kes salah laku dikaalngan pelajar semata-mata kerana tidak mahu pihak polis datang ke sekolah. Pihak pentadbir perlu sedar bahawa pihak polis sedia menghulur bantuan sekiranya diminta. Kehadiran polis di perkarangan sekolah tidak harus dilihat sebagai “mencemar “ nama baik sekolah. Sebaliknya, ia dapat membuktikan komitmen pihak sekolah dalam mengawal masalah disiplin pelajar.

Kaunseling juga sangat penting kerana kaunseling merupakan sebuah langkah pencegahan yang sesuai. Kaunseling di peringkat sekolah adalah penting dalam membantu remaja mengatasi masalah mereka.Program ini akan lebih bermakna sekiranya kaunselor-kaunselor yang bekelayakan dan berpengalaman dilantik dalam memantapkan pelaksanaan dan keberkesenan kaunseling tersebut. PIBG juga harus memainkan peranan dengan mengadakan pertemuan yang lebih kerap antara ibu bapa, penjaga dan guru khasnya bagi pelajar-pelajar bermasalah. Ibu bapa seharusnya menerima teguran daripada guru dengan sikap terbuka.

Barangkali degan segala langkah ini,berbagai-bagai masalah yang dihadapi oleh belia kita ,baik soal dadah ,soal akhlak,keciciran ,budaya lepak dan malahan masalah kepimpinan dalam badan-badan belia juga dapat diatasi.

Kehidupan keluarga moden bergantung kepada agensi dan institusi formal dalam mensosialisasikan anak-anak.

PENDAHULUAN

1.1 PENGENALAN
Masyarakat merupakan sebahagian daripada kajian sosial. Sosiologi merupakan pengetahuan tentang masyarakat. Manusia dilahirkan sebagai fitrah sebagi mahkluk sosial maka mereka tentunya saling berinteraksi dan dan hidup bermasyarakat. Oleh sebab itu, setiap manusia tidak boleh hidup secara bersendrian tanpa adanya orang lain(Abdul Razaq, Rozita Abdul Latif & Didin Saripudin,2008).
Dalam konteks ini, institusi formal dapat bertindak sebagai saluran membentuk serta meningkatkan proses sosialisasi, manusia akan dapat berinteraksi walaupun perbezaan agama, suku bangsa, ideologi dan sebagainya. Dengan kata lain manusia dapat menyesuaikan diri dalam situasi sosial yang berbeza. Proses sosialisasi adalah proses berterusan dan kebanyakanya datang dari pengaruh luar. Jadi,institusi formal dapat memainkan peranan sebagai agen penyluran dan pengkekalan budaya yang amat penting selain daripada institusi keluarga. Institusi keluarga khasnya keluarga moden kian bergantung kepada institusi formal dalam mensosialisasikan anak mereka (Abdul Razaq, Rozita Abdul Latif & Didin Saripudin,2008) .
Tidak dapat dinafikan bahawa institusi pendidikan menjadi perhatian utama ibu bapa dalam mensosialisasikan anak mereka. Mereka percaya, institusi pendidikan berupaya mengembangkan interaksi sosial, pengetahuan sosial, kemahiran sosial serta penyesuaian sosial anak mereka. justeru ibu bapa semakin bergantung kepada institusi formal seperti institusi pendidikan dalam mensosialisasikan anak mereka.

1.2 TAKRIF SOSIALISASI
kajian-kajian sosiologi membawa takrif yang berlainan mengikut tokoh-tokoh sosiologi. Mengikut Child (1954:6550) :
socialization is used here as a bro term for the whole process by which individual born with behavioral potentialities of enormously wide range, is led to develop actual behavior which is confined within a much narrow range- the range of what is customary and acceptable for him according to standard of his group.
Penyataan di atas bermaksud individu dilahirkan dengan potensi kelakuan yang luas yang membawa kepada pembangunan kelakuan sebenar yang dibataskan dalam lingkungan yang lebih sempit. Lingkungan ini dikatakan sesuatu lumrah dan individu diterima berdasarkan standard kumpulanya.
Dalam pada itu, Brim (1966: 3) mendefinisikan sosialisasi sebagai :
The process by which individual acquire the knowledge, skills and dispositions that enable them to participate as more or less effective members of group and the society.
Brim mendefinisikan sosialisasi sebagai process dimana individu memperoleh pngetahuan, kemahiran dan tingkahlaku yang membolehkanya terlibat dalam pelbagai kumpulan dan komuniti yang mempunyai ahli yan effektif dan kurang effektif.
Sementara itu, Clausen (1968 : 387) dikatakan memberi makna yang lebih tepat mengenai sosiologi, beliau menyatakan sosiologi sebagai :
To large degree, childhood socialization is the social orientation of the child and enculturation, first within the smallsocial world of family and neighborhood and then in relation to the larger society and culture.
Mengikut Clausen, dalam darjah yang lebih luas, sosialisasi zaman kanak-kanak adalah bersifat orientatasi sosial dan enkulturasi yang bermula dari dunia sosial keluarga dan kejiranan kepada perhubungan sosial dan budaya yang lebih luas.
Walaupun Clausen menyatakan perbezaan antara sosialisasi dan enkulturasi, namun beliau menggunakkan terma sosialisasi untuk menunjukkan pemindahan dan pemerolehan sesuatu budaya
berbanding budaya manusia. Beliau juga mendefinisi sosialisasi sebagai proses diantara komuniti yang khusus apabila beliau menyatakan :
Socialization- the inculculation of bacis psychological patterns through spontaneous interaction with parents, siblings, and others- is the predominant mode of shaping the mind in social systems in which is primary principle in organization of economic, political and other social relations.
Pernyataan di atas bermakna, gaya psikologi yang asas melalui interaksi ibu bapa, adik-beradik dan orang lain yang spontan dan serentak. Keadaan ini dikatakan lebih berkuasa dalam pembentukan system sosial dimana kekerabatan sebagai prinsip asas dalam organisasi ekonomi, politik dan perhubungan sosial yang lain
Setiap individu dikatakan ‘virtually helpless’ apabila dilahirkan di muka bumi. Kehidupan individu selepas kelahiran semestinya melibatkan ibu bapa, adik-beradik, saudara mara, jiran tetangga dan kumpulan kawan yang dikatakan anggota penting dalam proses sosial seseorang. Proses penyesuaian individu berdasarkan standard kumpulan yang sedia ada dikenali sebagai sosialisasi. Sosialisasi melibatkan penerimaan dan pemindahan sikap, nilai, tingkahlaku, tabiat dan kemahiran yang bukan sahaja diterapkan dalam sekolah malah diterapkan dalam keluarga, kumpulan rakan dan media massa. Kandungan pelbagai bentuk sosialisasi ini dikatkan saling berhubungan antara satu sama lain (Graham White 1977).
Dalam konteks ini, ibu bapa dikatakan kuasa sosial yang primer dan penting dalam proses sosialisasi anak-anak. Ibu bapa secara tidak sedar memaksa anaknya mempelajari sosialisasi melalui pelbagai cabang dan arah. Dalam pada itu, pengaruh berkuasa seseorang datang dari guru, kawan, jiran dan orang lain yang mengelilingi anak. Selain itu faktor persekitaran seperti media massa juga tidak ketinggalan dalam membawa pembelajaran situasi sosial yang lebih luas. Walaupun pelbagai agensi sosial berkongsi matlamat sosial yang sama namun institusi pendidikan iaitu sekolah khasnya menjadi pengaruh kuat dalam menerapkan sosialisasi dalam diri anak-anak. Kehidupan keluargan moden dikatakan bergantung sepenuhnya institusi formal seperti sekolah dalam usaha mensosialisasikan anak mereka (Graham White 1977).

1.3 SEKOLAH SEBAGAI INSTITUSI SOSIAL
1.3.1 Peranan pendidikan
Emile Durkheim mendefinisikan pendidikan sebagai proses mempengaruhi oleh golongan dewasa kepada kanak-kanak atau remaja yang masih mentah dan belum matang bagi menghadapi cabaran kehidupan dan corak sosialisasi.
Jerome Burner berpendapat pendidikan perlu memberi fokus terhadap pengembangan ketrampilan dan penyebaran pengetahuan untuk mempertingkatkan daya intelek kanak-kanak dan remaja sebagai persediaan menghadapi cabaran globalisasi (Adiwikarta, 1988). Selain berperanan sebagai sarana penyebaran dan pewarisan pengetahuan dan kebudayaan. Bagi Hatchins, pendidikan berperanan sebagai penawar dan ubat bagi masalah-masalah sosial dan budaya seperti kemiskinan, pengangguran dan kenakalan (Abdul Razaq, Rozita Abdul Latif & Didin Saripudin,2008) .
Institusi sosial adalah sesuatu sistem peranan dan norma sosial yang saling bertautan dan tersusun dalam usaha memenuhi keperluan dan fungsi sosial. Brembeck (1973) mengemukakan pendapat Robert M. Hatchins yang menekankan peranan pendidikan dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial dan budaya (Abdul Razaq, Rozita Abdul Latif & Didin Saripudin,2008)
Koentjaraningrat (1974) menjelaskan kehidupan sebagai sesuatu system yang meliputi seluruh struktur sosial yang bermula dari keluarga, kejiranan, komuniti, masyarakat, negeri dan negara yang meliputi pelbagai bidan dari segi politik hinggalah kekeluargaan (Abdul Razaq, Rozita Abdul Latif & Didin Saripudin,2008) .
Sosialisasi adalah proses mempelajari dan menghayati norma serta perilaku yang berjaya dalam prosese sosialisasi ini tentunya dapat menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan persekitaran, mengikuti norma-nrma masyarakat dan diterima sebagai ahlinya. Proses sosiologi adalah proses penyesuaikan diri atau adaptasi seseorang ke dalam masyarakat atau kehidupan kelompok tempat dia tinggal dan menetap. Orang yang gagal dalam proses ini akan ciri-ciri tingkahlaku devian kerana ditolak atau disisihkan oleh masyarakatnya keranan berbeza tingkahlaku dan sikap dan tidak mematuhi norma-norma sosial yang berlaku (Abdul Razaq, Rozita Abdul Latif & Didin Saripudin,2008)
Ternyata wujudnya perbezaan dan persamaan antara sosialisasi dan pendidikan. Aspek sosialisasi dan pendidikan tidak dapat dipisahkan salih mengambil alih peranannya sehingga pendidikan boleh dianggap sebagai proses sosialisasi dan proses. sosialisasi pula boleh dianggap proses pendidikan (Abdul Razaq, Rozita Abdul Latif & Didin Saripudin,2008) .
Keterangan di atas menunjukkan bahawa terdapat hubungan fungsional yang sangat erat antara pendidikan sebagai subsistem kehidupan dengan subsistem kehidupan yang lain, bahkan dengan kehidupan masyarakat sebagai system yang menaunginya. Pendidikan berupaya mengembangkan kehidupan masyarakat dan kebudayaan dan segala unsure masyarakat dan budaya dapat memperkayakan dunia pendidikan.
Tujuan pendidikan selalunya kerana tuntutan norma sosial. Proses pendidikan selalunya hanya dilihat oleh pelajar sebagai usaha guru membimbing dan mengasuh fikiran dan watak mereka tanpa melihat idealisme pendidikan itu kerana jiwa mereka yang terdidik tidak disatukan dengan tujuan pendidikan itu.
1.4 SEKOLAH DAN KELUARGA MODEN
Sekolah merupakan sebuah komuniti dalam masyarakat. Lazimnya sekolah terletak dalam lingkungan komuniti yang pelbagai melihat letak lokasi sesebuah sekolah, ada yang terletak di kampung dan ada yang terletak di pecan dan Bandar. Cirri-ciri sekolah lazimnya berbeza dengan persekitarannya khususnya berbeza dengan situasi keluarga. Walaubagaimanapun, buday keluarga masa kini selalunya di bawa masuk ke sekolah kerana pelajar yang belajar di sekolah terdiri daripada pelbagai latar belakang keluarga.
Keluarga moden merupakan sebuah komuniti dalam masyarakat. Keluarga moden boleh ditafsirkan sebagai komuniti yang mengamalkan cara hidup yang moden dan mereka dibezakan dengan keuarga lain dari segi kelas sosial, jenis pekerjaan, jenis tempat tinggal, lokasi, fahaman dan perbezaan pegangan ekonomi. Keluaraga moden lazimnya mengikuti arus pembangunan dan dikatkan mempunyai ikatan keluarga yang renggang. Interaksi antara ahli kelurga dikatakakan minimum dalam pembangunan sosialisasi anak mereka.
Terdapat hubungan yang signifikan antara kelurga moden, dan sekolah. Kebiasanya sekolah yang terletak di kawasan kampung menjalinkan hubungan yang akrab dengan komuniti di sekitarnya. Orang kampong sentiasa memberikan kerjasama dengan pihak sekolah terutama dalam menjayakan sebarang kegiatan yang dianjurkan oleh sekolah seperti gotong royong, membersihan persekitaran, menghadiri mesyuarat Agung dan terlibat dalam aktiviti sukan. Keadaan in secara langsungnya memudahkan proses sosialisasi.
Namun demikian, hubungan antara keluarga moden dengan pihak sekolah semakin renggang. Fenomena ini memang sesuatu yang dinjangkakan disebabkan kelurga moden bersifat heterogen mengalami perubahan yang cepat. Keadaan ini menyukarkan interaksi langsung antara kelurga dengan pihak sekolah.
Walaubagaimanapun, keluarga moden masih bergantung pada pihak sekolah dalam mensosialisasikan anak mereka supaya anak mereka dapat membangunkan kemahiran sosial dan interaksi sosial yang berguna dalam pembangunan model insan.
1.5 FUNGSI SEKOLAH
Dewasa ini hampir semua keluarga bergantung pada institusi sekolah dalam usaha mensosialisasikan anak mereka. Secara universalnya, terdapat alasan-alasan konkrit mengapa ibu bapa menghantar anak mereka ke sekolah. Pendidikan melalui proses persekolahan merupakan suatu bentuk sosialisasi yang bermakna antara manusia. Di antara peranan sekolah ialah :
1.5.1 Sekolah membentuk sosialisasi manusia
Sekolah berupaya bertindak sebagai saluran membentuk serta meningkatkan proses sosialisasi anak. Dengan memahami proses sosial, anak akan bertindak berinteraksi walaupun wujud perbezaan dari segi agama, suku bangsa, bahasa, ideology dan sebagainya. Pendek kata, anak dapat menyesuaikan diri dalam keadaan yang berlainan. Blumber, 1962 melihat sosialisasi manusia dalam perspektif interaksi simbolik berdasarkan uniknya kehidupan sosial manusia. Kita sering memberi maklum balas secara langsung dengan orang lain; menginterprestasikan kejadian seharian daripada kategori dan definisi yang telah diberikan oleh kebudayaan dan daripada yang dipelajari daripada orang lain. Kebanyakan aktiviti tidak begitu diperhatikan tetapi semua secara menyeluruh telah menghasilkan masyarakat.
Anak dikatakan mempunyai keperluan untuk menyayangi dan disayangi. Kembimbangan akan hidup berseorangan, kerengganan hubungan dengan orang lain dan tidak dihargai merupakan ciri-ciri penting dalam kehidupan anak. Memenuhi kehendak sosial di antara keutamaan yang sentiasa menekan dalam diri anak-anak. Melalui proses pemasyarakatan di sekolah, seseorang anak dapat meluaskan fahaman, pemikiran dan persepsi mengenai sesuatu perkar. Bilik darjah, aktiviti persatuan, kegiatan sukan dan kantin sekolah merupakan tempat yang sesuai bagi proses sosialisasi.
Menurut Hazil, 1990, proses sosialisasi pelajar dilalui oleh pelajar sama ada secara sedar ataupun tidak. Musgrave (1979) telah membahagikak proses sosialisasi kepada dua. Pertama ialah apa yang dikatakan sebagai perspektif interpersonal. Proses pnsosialan dilihat dari segi masa dimana individu mempelajari peranan-peranan yang akan dimainkan di dalam kelas adalah merupakan kajian tentang sosialisasi melalui perspektif struktur. Manakala mempelajari peranan yang diberikan kepada individu dinamakan proses sosialisasi menikut perspektif interpersonal (Abdul Razaq, Rozita Abdul Latif & Didin Saripudin,2008).

1.5.2 Sekolah sebagai agen mobilitI sosial
Menurut Amir (1990), berdasarkan pandangan fungsionalisme, pendidikan mempunyai peranan penting sebagai alat mobility sosial. Dalam kehidupan moden ini, mobility sosial berkait rapat dengan stratifikasi sosial. Hal ini kerana, mobility sosial bermaksud pergerakan individu atau kumpulan dalam hieraki berbeza stratifikasi masyarakat. Melalui pendidikan, anak-anak dari kelas sosial yang rendah berupaya meningkatkatkan kelas sosial mereka ke tahap yang lebih tinggi.dalam pada itu, ibu bapa moden bergantung kepada pendidikan bagi mewujudkan nasib yang lebih baik bagi anaknya berbanding diri mereka. Oleh itu, ibu bapa moden kian berusaha memberi pendidikan yang lebih tinggi dalam usaha meningkatkan tahap sosial anak mereka.
Menurut sharifah Alawiyah (1985), mobility sosial intragenerasi atau mobility sosial dalam generasi akan berlaku apabila perubahan pekerjaan melibatkan perubahan turun atau naik dan melintasi kelas-kelas sosial di dalam kehidupan seseorang pekerja itu. Mobility sosial intergenerasi atau mobilitI sosial antar generasi akan wujud jika berlaku perubahan pekerjaan di antara bapa dan anak. Selain itu, Banks (1971), Syed Husin (1975) dan Amir Hassan Dawi (1990) telah merumuskan bahawa pada masa sekarang lebih tinggi pelajaran yang diterima lebih mudah mobility sosial berlaku. Contohnya,pelajar-pelajar di institusi tinggi melengkapkan diri dengan pengetahuan yang berkaitan dengan kerjaya yang berupaya membantu mobliti mereka ke peringkat yang lebih tinggi lagi.
Pendidikan, pekerjaan dan mobility sosial berkisar serta menyentuh perkara yag sama iaitu berkaitan dengan peluang , sosialisasi serta kelangsungan hidup. Pandangan umum tentang sosialisasi manusia berkisan mengenai mobility sosial, stratifikasi sosial dan peluang pendidikan yang lebih luas. Hakikatnya, sosialisasi seorang anak bergantung kepada mobliti sosial yang berupaya meningkatkan taraf hidup dan kelangsungan hidup seseorang (Abdul Razaq, Rozita Abdul Latif & Didin Saripudin 2008).
1.5.3 Sekolah merupakan alat pemindahan budaya dan sosial.
Tidak dapat dinafikan bahawa sekolah merupakan institusi penting dalam mencorakkan perhubungan dan perubahan tingkahlaku pelajar-pelajar mengikut arah dan kehendak masyarakat. Maka sekolah memainkan peranan penting dalam menyalurkan fahaman sosial dan mengekalkan budaya dan identiti sosial. Contohnya perkara-perkara berkaitan dengan sifik dan moral seperti budi bahasa, sopan santun dan sifat hormat-menghormati merupakan komponen yang biasa diajar di sekolah. Selain itu, komponen sosial seperti menghormati amalan, budaya kaum lain serta memahami adat dan istiadat budaya lain serta kehidupan berosial mampu meningkatkan sosialisasi di kalangan anak-anak.
Tidak ketinggalan juga sekolah mengajar kebudayaan kebangsaan seperti mengetahui tentang bendera negara, lagu kebangsaan dan bahasa kebangsaan. Pembelajran secara berkumpulan menegenai budaya kebangsaan bukan sahaja meningkatkan semangat perpaduan dan kenegaraan malah melangsungkan proses sosilaisasi di kalangan pelajar-pelajar. Justeru anak-anak dari keluarga moden secar langsungnya meningkatkan tahap sosial mereka.
Pada hakikatnya, sekolah dapat memainkan peranan sebagai agen penyaluran dan pengekalan budaya yang amat penting selain daripada institusi keluarga. Tanpa sesuatu agen untuk mewariskan serta memperluaskan budaya, sesuatu generasi baru iaitu anak-anak muda sukar untuk memulakan sesuatu yang baru. Menurut Amir (1990), budaya secara ringkasnya merujuk kepada cirri-ciri dan hasilan tingkahlaku yang dipelajari oleh sekumpulan manusia daripada persekitaran sosialnnya. Budaya sebagai warisan sosial manusia, cara pemikiran dan perasaan dan aksi-aksi yang dipindahkan kepada generasi yang akan datang (Abdul Razaq, Rozita Abdul Latif & Didin Saripudin 2008).
1.5.4 Sekolah memelihara kelas sosial
Lembaga sekolah mengakui terdapatnya hieraki peranan kedudukan dan status pekerjaan. Hal ini diwujudaka bagi mempersiapkan para pelajar untuk mendudukinya. Para pelajar disosialisasikan untuk menerima dan menyesuaikan diri dengan sistem status dan peranan tersebut. Dalam konteks ini, lembaga pendidikan dirancang dengan maksud mempertahankan agar sistem kelas sosial tidak berubah (Collins,1975, hal. 450). Hal ini tidak bermakna kerajaan menghalang mobility sosial tetapi bertujuan mengekalkan kelas sosial yan formal yang wujud.
1.5.5 Sekolah menggantikan peranan ibu bapa dalam proses pengawasan.
Autoriti ibu bapa terhadap anak dikurangi oleh sekolah. Sekolah seringkali mengembangkan sosialisasi anak dengan menggunakan bahan pengajaran yang berupaya meningkatkan tahap sosial anak-anak.
Tidak dapat dinafikan bahawa sekolah menganjurkan pelbagai program kebudayaan, program sosial dan program akademik yang bertujuan untuk meningkatkan sosialisasi di kalangan kanak-kanak. Misalnya, program akademik seperti gerak gempur yang ditunjangi oleh pelajar daripada pelbagai bangsa dan etnik berupaya meningkatkan kesedaran dan sosialisasi di kalangan pelajar-pelajar. Selain itu, program kebudayaan seperti program Deeparaya atau program Tanglung yang melibatkan kerjasama daripada pelajar yang berlainan etnik boleh meningkatkan sosialisasi secar tidak langsung. Sementara itu interaksi antara guru dengan pelajar, interksi pelajar dengan pelajar berupaya meningkatkan tahap kafahaman akademik di samping meningkatkan interaksi sosial antara mereka. Keadan sedemikian menjadi motif utama institusi formal seperti sekolah dalam usaha mensosialisasikan anakanak (Abdul Razaq, Rozita Abdul Latif & Didin Saripudin 2008).
Ibu bapa pada masa kini menghabiskan lebih banyk masa di luar rumah dan masing-masing sibuk dengan urusan kerja. Dalam pada itu, mereka tidak mempunyai masa untuk pengawasan ana-anak mereka dan ini mengehadkan proses sosialisasi anak-anak. Pilihan merekan menghantar anak ke sekolah mencapai matlamatnya apabila sekolah menjadi insitusi pengawasan bagi mencapai matlamat sosialisasi.


KESIMPULAN
Sesebuah keluarga harus menyedari peranan mereka dalam mensosialisasikan anak. Dalam pada itu, ibu bapa harus meluahkan masa bersama anak mereka demi menigkatkan interaksi sosial antara ahli keluarga. Misalnya, mengadakan hari keluarga bersama anak-nak, saudara-mara, kawan-kawan dan jiran tetangga. Keadaan ini secara langsungnya meningkatkan hubungan sosial sesama ahli komuniti dan khususnya di kalangan anak-anak muda. Selain itu, kehidupan moden tidak harus menjadi halangan dalam usaha sosialisasi anak, malah kehidupan moden harus menjadi pendorong dalam pembentukan kehidupan sosial yang lebih membangun. Ibu bapa harus memberikan didikan mengenai norma sosial, amalan sosial serta mengajar apa yang boleh dibuat dalam komuniti serta larangan sosial. Keadaan ini secara langsungnya meningkatkan kesedaran sosial anak-anak dan seterusnya berlakulah proses sosialisasi. Kebergantungan keluarga moden terhadap institusi formal dalam mensosialisasikan anak merupakan tindakan yang rasional namun usaha sendiri keluarga moden berupaya membawa hasil yang lebih bermakna.














RUJUKAN
Graham White. 1977. Aspects of modern sociology - social process.
Abdul Razak Ahmad, Rozita Abdul Latif & Didin Saripudin.2008. Masyarakat dan pendidikan. Yayasan Istana Abdul Aziz, Pahang Malaysia.
Thomas Rhys Williams.1983.Socialization. George Mason University Fairfax Virginia.